![]() |
Kemarau basah yang kini terjadi di sejumlah daerah di Indonesia ternyata juga berdampak langsung pada menurunnya kualitas produksi padi. Namun demikian, meski hasil panen padi organik menurun, sejumlah petani padi organik di kawasan Trawas, Kabupaten Mojokerto masih bersyukur, karena padi non-organik di sekitarnya malah mengalami gagal panen.
”Petani padi yang belum organik terpaksa merusak tanaman padinya meski sudah berbunga dan mengulang penanamannya lagi karena pertumbuhan tanaman padinya terganggu cuaca,” ungkap Salamun, petani padi di Trawas, belum lama ini. Cuaca buruk dan tidak menentu sejak awal 2013 telah memengaruhi pertumbuhan dan hasil panen produk pertanian, termasuk hasil panen padi organik di Mojokerto. Seringnya hujan pada malam hari dan cuaca yang dingin menyebabkan hasil panen padi organik jadi fluktuatif. Yang biasanya hasil panen padi organik mencapai 16 karung gabah menjadi hanya 6 karung gabah. Sejak 1995, Salamun mulai mengembangkan padi organik di lahan seluas 5000 meter (5 hektare) meski petani sekitarnya mencemoohnya. Salamun juga beternak kambing dan mengolah kotoran dan urin kambing menjadi pupuk organik untuk lahannya. Salamun juga membuat pestisida organik sendiri. Selain menggunakan pupuk dan pestisida organik, ia juga melakukan rotasi tanaman di lahan organiknya, yaitu padi - kacang tanah, padi – jagung. Jenis padi yang ditanam adalah Pandanwangi dan Menthik Susu. Salah satu yang menjadi alasan mereka mengembangkan pertanian organik adalah ekologi atau keseimbangan alam, saprodi yang semakin mahal, kesehatan dan nilai jual produk organik. Selama ini dengan pertanian nonorganik (konvensional) telah menyebabkan keseimbangan alam terganggu. Hama dan penyakit tanaman meningkat , variatif dan sulit ditangani. Saprodi seperti pupuk dan pestisida sintetis juga mengalami peningkatan harga per periodenya. Begitupun biaya tenaga kerja. Hal ini membuat petani perlahan mengurangi saprodi dan menggantinya dengan pupuk kandang dan pestisida alami yang dibuat sendiri. Sehingga petani terbebas dari ketergantungan pabrik penghasil saprodi dan keseimbangan alam perlahan menjadi kembali. Penggunaan saprodi sintetis selama pengembangan pertanian konvensional juga telah menyebabkan kesehatan petani terganggu. Saat penyemprotan pestisida sintetis, petani mengalami sesak nafas, kulit gosong karena bersentuhan dengan obat, dan pusing. Terutama petani yang telah berusia lanjut mudah merasakan gangguan kesehatan itu. Setelah beralih menggunakan pestisida dari bahan alami, petani tidak merasakan gangguan kesehatan itu. Petani juga bisa merasakan manfaat ekonomi dari pengembangan pertanian organik. Nilai jual beras organik lebih tinggi daripada beras non organik (konvensional). Konsumen bersedia membayar lebih beras organik karena manfaatnya untuk kesehatan. Kondisi cuaca hujan yang masih belum merata hingga pertengahan November membuat petani masih belum berani menanam padi. Di sebagian wilayah musim tanam sudah mulai dilakukan, namun kebanyakan musim tanam bakal dilakukan Desember mendatang. Hal ini karena saat itu diprediksi curah hujan akan berlangsung normal. “Berdasarkan ramalan BMKG, hujan baru akan mulai November. Namun tidak bisa langsung dimanfaatkan petani untuk mengolah lahan dan menanaminya. Butuh waktu agar air permukaan (air hujan) dan air irigasi cukup untuk persiapan tanam. Itu berarti musim tanam baru akan mulai serentak awal Desember,”ujar Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan, Winarno Tohir, di tempat terpisah. Artinya, musim tanam padi yang awalnya diperkirakan dimulai Oktober, kini bakal mundur hingga Desember. Ia berharap mundurnya musim tanam padi ini bisa diantisipasi oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. BMKG memperkiraakan musim penghujan di Indonesia akan mengalami keterlambatan akibat Badai El Nino yang berkekuatan lemah, yang mengurangi pasokan uap air dari Samudera Pasifik sebelah timur Indonesia. Keterlambatan awal mulainya musim hujan berkisar 10 hari sampai sebulan. Beberapa daerah Jika musim tanam padi dimulai Desember, maka panen dimulai Maret tahun depan. Panen bulan Maret perlu untuk mengisi pasar dan menstabilkan harga, sehingga Bulog diperkirakan baru bisa menyerap optimal pada bulan April. Saat panen bulan Maret masih bertepatan dengan musim hujan. Bagi petani yang tidak memiliki sarana pengering tentunya akan menghadapi masalah serius penurunan kualitas gabah. “Karena masih hujan, harga gabah petani bisa anjlok. Perlu dipetakan lokasi dan kepemilikan sarana pengering agar mobilisasi bisa lebih mudah,” katanya. Panen pada musim hujan, tambah dia, juga lebih memicu hama penyakit. Kondisi ini harus diantisipasi pemerintah. Bagi petani yang daerahnya rentan terhadap banjir, KTNA menganjurkan agar mereka menanam padi yang lebih tahan rendaman. Paling tidak seminggu terendam air. Misalnya dengan menanam padi varietas Inpari atau Inpara. Terkait pengadaan, para petani meminta agar Bulog mengoptimalkan sarana pengering. Bulog juga diminta responsif menjemput bola membeli gabah petani agar jangan sampai harganya jatuh. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, panen padi musim hujan menyumbang sekitar 60 persen dari produksi beras nasional. Selebihnya pada musim kemarau I dan kemarau II. Mengacu data Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, dalam evaluasi prakiraan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) utama padi 2011/2012 sasaran luas tanam padi pada musim tanam 2011/2012 adalah 8.690.398 hektar. * yad (Gema Desa Agustus 2013)
|